Minggu, 01 Februari 2009

Profesi Penulis

Semua penulis akan mati.
Hanya karyanyalah yang akan abadi.
Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti.

(Ali bin Abi Thalib)


Selasa (27/1) siang, saya berkunjung ke rumah seorang sahabat lama, yaitu Kang Irfan (dosen sastra Unpad dan ketua umum FLP) yang kini sedang menyelesaikan S3 pada jurusan Ilmu Susastra UI. Salah satu diskusi yang menarik untuk dituliskan di sini adalah konsep profesi penulis yang seolah-olah selalu dipertanyakan, baik itu oleh pelaku yang sudah berkecimpung dalam dunia kepenulisan atau oleh masyarakat umum.


Menurut wikipedia versi Indonesia, penulis atau pengarang adalah sebutan bagi orang-orang yang mengarang atau menciptakan suatu karya tulis. Karya tulis bisa dalam bentuk karya tulis ilmiah, makalah, buku, artikel, opini, atau sastra (termasuk prosa dan puisi). Media penulisan pun bisa beraneka seperti buku, majalah, koran, atau internet. Orang yang pekerjaan utamanya menulis maka biasanya disebut sebagai penulis atau pengarang. Sedangkan penulis sebagai kegiatan sampingan atau sub dari pekerjaan utama, boleh disebut penulis juga.


Pada umumnya seorang penulis harus memiliki tiga keterampilan dasar. Pertama adalah keterampilan berbahasa dalam merekam bentuk lisan ke tulisan, termasuk di dalamnya adalah menggunakan ejaan, tanda baca, dan pemilihan kata. Kedua adalah keterampilan penyajian, termasuk di dalamnya adalah pengembangan paragraf, merinci pokok bahasa menjadi sub bahasan pokok, dan susunan secara sistematis. Ketiga adalah keterampilah perwajahan, termasuk di dalamnya pengaturan tipografi seperti penyusunan format, jenis huruf, kertas, tabel, dan lain sebagainya.


Menilik sejarah, profesi penulis boleh dibilang tidak ada, artinya penulis bukanlah pekerjaan utama melainkan sebagai pekerjaan sampingan dimana pelakunya sudah memiliki pekerjaan utama, misalnya sebagai dokter, ahli dakwah, dll. Akan tetapi berdasarkan perkembangan zaman, kini penulis bagi beberapa orang telah menjadi profesi utama. Sebut saja penulis skenario, penulis fiksi, penulis buku-buku pelajaran, penulis buku-buku proyek, bahkan sampai penulis spesialis lomba/sayembara. Wallahu'alam, di luar konteks pro dan kontra tentang profesi penulis, yang jelas profesi penulis tetap sama dengan profesi lainnya yang mengutamakan kerja profesional. Kalau memang sudah terjun total sebagai seorang penulis, tidak ada alasan baginya untuk tidak menulis. Sama halnya tidak ada alasan baginya untuk tidak membaca karena bagaimanapun kerja menulis tidak dapat dipisahkan dari membaca.


Ada satu tolok ukur yang tidak boleh diabaikan tentang profesi penulis, yaitu adanya pembaca yang secara tidak langsung akan mengikuti apa yang disampaikan (secara tersirat atau tersurat) dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang harus diperhatikan secara serius oleh penulis. Saya termasuk orang yang tidak setuju dengan anggapan bahwa pengarang telah mati setelah karyanya selesai. Maksud dari konteks ini adalah adanya tanggung jawab moral seorang penulis setelah karyanya menjadi santapan umum di kemudian hari. Bolehlah sekuler menilai keindahan sebagai freedom of expression, namun Islam menilai keindahan sebagai sarana untuk menyampaikan kebenaran (A. Teeuw). Inilah yang menjadi titik tekan mengapa saya lebih memilih menulis yang bermanfaat bagi masyarakat umum (dakwah bil qalam). Tidak ada maksud lain bahwa menulis adalah cara lain untuk memburu pahala, termasuk mengalirnya amalan kebaikan kendati sang penulis telah tiada. Saya tidak menutup mata kalau rezeki menulis juga turut mengikuti. Bisa jadi inilah bonus lain yang sudah disediakan Sang Maha untuk hamba-hamba- Nya yang ikhlas.


Al Zabidi mengatakan bahwa sastra atau ‘al adab adalah sesuatu yang diaplikasikan oleh sastrawan untuk membantu memperbaiki manusia. Ia membimbing manusia ke arah sifat-sifat terpuji dan menghindari sifat-sifat keji. Jadi, sudahkah kita menulis untuk kebaikan bersama?[]



Bang Aswi - Pekerja Buku
Blog [http://bangaswi. com/]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar